Aku
masih menyangkal bahwa aku sedang berhadapan dengan Lampung. Rasanya tak percaya
bisa menikmati perjalanan yang tak ku duga ini. dengan secercah harapan ku
persembahkan untuk mahasiswa yang akan menanti kami di kota seberang sana.
Yah..meski aku tak tahu memasti tentang adat istiadat mereka, seni budaya
mereka, atau bahkan oleh-oleh khas lampung atau karena aku yang “kuper” atau
“tak tahu-menahu” tentang sejarah. Huft.. itulah yang sedang ku musnahkan dari
sikap kecuekanku.
Bersama
dua orang senior yang bersamaku, tiada lain mereka yang juga atasanku di
pengurusan Bem MIPA. Yupz!..gubernur
MIPA dan sekretaris umumnya. Aku siapalah?? Hanya seorang sekretaris di bidang
eksternal yang hanya memiliki nyali sebesar zahrah. Tapi aku memiliki mental
kenapa dan apa tujuanku datang ke lampung. Mungkin alasan hanya untuk mengenal Lampung
adalah nomor dua, sedang alasan pertama tidak lain hanyalah mencari pengalaman
(?). *kenapa tak kau cari di tempat yang terdekat saja chef?/. itulah chefaku
heran dengan tantangan bertingkat ini. hem, maksudku termasuk kategori biaya. Mungkin suatu musibah atau
“terlanjur”. *udahlah chef, jalani aja derita loe/.
Berada
di atas bis besar, yang aku pikir muatlah dipadati oleh satu kelas di
jurusanku. Dengan bersandarkan seorang gadis cantik di bahuku, meratapinya
dengan penuh sayang dan manja, beliau lah sekum
yang bicarakan tadi. Wajahnya yang rupawan sehingga tak jarang setiap orang
memandanginya penuh indah. Sesuai namanya, yang juga merupakan doa bagi dirinya
sendiri, kak “Indah”. Aku lupa menanyakan nama lengkap beliau, padahal hubungan
kedekatan kami cukup erat. Aku harus menghilangkan sifat cuekku ini yang dengan
gampangnya melupakan nama seseorang. Padahal aku juga sangat membutuhkan nama
untuk sebuah komunikasi, cerpen, atau bahkan novel yang sedang ku angklatkan
ini dengan menulis berbagai hal , ku pikir mampu mengurangi penyakit amnesiaku.
Beliau
yang sedang asyik tertidur nyenyak di bahuku, seakan merasakan keempukan,
padahal ia tahu kalau yang disandarkannya itu merupakan segumpalan lemak yang
berkolaborasi dengan karbohidrat serta di bubuhi secuil protein dan vitamin
lainnya. Yah, itulah kmposisi tubuhku. Tapi aku malah kege’eran bila disebut ke-ibu-an.
Ku harap option yang kedua itu cukup untuk memujiku.
Pohon-pohon
itu meloncat kebelakang seiring dengan berjalannya bis ini. aku masih disini
termenung, sesekali aku memandangi lukisan yang bergerak kebelakang layar kaca,
sesekali membuka lembaran demi lembaran buku “MY STUPID BOSS”. Belum juga aku
menyelesaikan untuk membacanya. Butuh setengah hari agar aku bisa menyelesaikan
tugas membaca buku gokil Ala sang cerpenis gokil itu. sebab tidak satu atau dua
orang yang rela mengantri demi sesuap geli yang mencolek rasa kesensitifan,
tetapi belasan orang. Selepas dari kegiatan ini, aku harus bersiap-siap menghadapi
sikap manusia yang sudah lumrah dan bahkan merupakan budaya tentang “tagihan”
kepadaku, emmm, maksudku kepada kami. Yang menurutku adlaha selain oleh-oleh,
juga buku ini.
Masih
membaca, ku lihat jam di hapeku,
sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Sepanjang jalan hanya melewati propinsi dan
kecamatan demi kecamatan. Semuanya sekilas saja ku hirup, Bagai sebuah terpaan
angin. Saking penasaran yang melekat, ku coba melirik ke kananku, kaca
transparan melukiskan pemandangan, pepohonan, rumah-rumah adat siap di
lemparkan ke belakang layar kaca, berlalu melewati pandanganku. Semua itu tak
hirau sebab –pula- pemandangan baru yang siap di tayangkan di layar kaca
transparan itu. yah..sebuah lukisan penciptaan Sang Kholiq.
Menuju
ke sebuah perkotaan, ku cermati tulisan demi tulisan yang terpampang di depan
papan iklan. Dan tertulis kecil nama sebuah kecamatan Tugu Mulyo. Belum selesai
aku melanjutkan isi papan tulisan tersebut, aku justru di alihkan ke sebuah
kota yang di arungi berbagai ragam rumah adat mereka. Sedikit aku tersentak,
tapi menimbulkan kekaguman yang “Wah” dalam geloraku. *kasmaran neng?/.
Rumah-rumah
adat “itu” selalu saja ku temui sebuah lambang-lambang aneh semacam tugu kecil
yang terpajang di depan halaman rumah, tepatnya di depan pagar yang
kadang-kadang sebagian rumah tersebut juga melengkapinya dengan
patung-patungan. Mirip kerajaan dinasti. Atau sama persis kayak di pilem-pilem
kerajaan di propinsi jowo sana. Seperti Dipenegoro, Adipati, Raden-radenan,
Yayang sundi, Kanjeng, Dayang-dayang -yang kalau ku uraikan satu persatu “lagi”
maka mulutku akan latah selatahnya-.
Biar ku
deskripsikan bentuknya *yes, kebiasaan baik/.
Ciri-ciri
benda unik dan aneh itu adalah:
Bentuknya hampir sama kayak
mahkota. Bedanya sisi kelopaknya berbentuk runcing, ga tumpul. *iyaiya/.
Jika mahkota sisi kelopaknya –kalo ga salah itung ada enam kali ye- ,
nah, kalo “ini” engga’, justru lebih.
Tunggu sebentar *satu..dua..tiga..empat…bla..bla…/ AHAA!!! Ada Sembilan
ternyata. *iya ternyata* tapi kenapa
ga digenapin aja jadi “sepuluh” ???. kan mutlak tuh kalo genap, biar
berpasang-pasangan masing-masing kelopaknya. *aduh chef, bilang aja suka ama yang genap-genap/
Daaannn…ketika
sampainya di tempat tujuan, aku dan kedua seniorku di sambut hangat oleh tuan
rumah di Universitas Lampung. Dengan polosnya, tanpa basa-basi dan segala macam
cengkunek, ku sampaikanLAH gulatan pertanyaan yang udah
amburadur di memory pertanyaanku. Semuanya sudah ku list di secarik kertas kecil.
*biargaklupa/.
Ku
genggam sebuah bolpen di tangan kananku dengan erat, sedang di sebelah kiri
merupakan buku catatan kecil yang siap untuk di coret-coret, sementara ku
tonjolkan kacamata yang memiliki ketebalan 5 sentimeter bukan kubik yang ku
pikir bisa menambah kefokusanku di dalam mewancarai.
Saya :Oke, sekarang jawab pertanyaanku??!!
I* :
saya salah apa bu?
Saya :
dimana kamu letakin harta karun peninggalan dinasti pada masa zaman majapahit
itu?
I* :
mana saya tau!
Saya :
alaahh..gak usah bo’ong!
I* :
beneran !
Saya :
perlu saya buktikan!
I* :
Apa?!
Saya :
ini (sambil menunjukkan sebuah gambar yang ada di handphone saya)
I* :
wkwkwk
Saya :
kenapa anda tertawa? Apa ada yang lucu? Atau anda hanya ingin meremehkan
pertanyaan saya?
I* :
liat dulu gambar apa yang kamu tunjukin
Saya :
(melirik ke layar hape saya)
Gubrak!!!
Saya mengira gambar yang saya tampilkan itu adalah gambar sebuah mahkota
raksasa –yang saya temui di pinggir jalan- , eh taunya gambar spongebob lagi
pake baju Naruto. (?).
Tapi
inti ceritanya bukan itu sih, (udah, lupakan dramanya) . Ternyata benda yang
semenjak dari subuh di bus sampai siang hari benda unik dan aneh itu terpampang
di jalanan adalah “Siger”. Owch,,siger toh….!!! *yah, gak ngemeng-ngemeng
nduk/.
Siger
itu merupakan salah satu ciri khas Lampung. Dia memiliki Sembilan kelopak yang
artinya Sembilan suku. yang mana Sembilan suku tersebut merupakan komposisi
dari Indonesia. Bhineka Tunggal Ika. Aku sangat menyanjung suku-budaya
Indonesia, kerajinan tangannya, struktur bahasanya yang beragam, bahkan
kekayaan Alamnya yang berlimpah ruah. Aku Bangga Menjadi Warga Indonesia Asli.
Namun,
sedikit kekecewaan juga meluluh-lantahkan semangatku ketika bersinggah di
Lampung, ialah ciri khas bahasa mereka yang mau atau hampir punah. Betapa
sayangnya warga yang telah menduduki tanah kelahirannya namun tidak di
budidayakan bahasa kelahirannya. *apakatadunia?/. dan ketika aku bertanya lagi “lantas, siapa sesungguhnya yang bisa
menggunakan bahasa lampung ini?” . dengan sedikit kedukaan mereka menjawab “orang tua-tua yang sudah lanjut usia” . kedubrak!!
Gimana mau melestarikan budaya lagi bangsa Indonesia, sedang generasi muda saja
telah niat dan berniat atau bahkan tidak sengaja untuk melupuskan kultural
bangsa Indonesia Raya ini. yang telah jatuh-bangunnya para pahlawan bangsa
untuk menegakkan bendera Merah-Putih Kita. Namun ketika bangsa telah berada di
tangan kita, lantas, mengapa kita remeh seakan acuh tak acuh akan bangsa???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar